Kepuasan Hidup dalam Perspektif Psikologi Positif
Kepuasan
Hidup
A.
Latar
Belakang Lahirnya Teori Keterkaitan Noddings
Dalam pengantar buku berjudul kebahagiaan dan
Pendidikan, Noddings (2003) mencatat bahwa banyak pendapat skeptis yang
menyatakan bahwa, "......kebahagiaan dan pendidikan tidak
berjalan bersama-sama" (hlm.
1). Namun demikian, berdasarkan
pengamatannya bertahun-tahun Noddings menyimpulkan bahwa "orang-orang yang
bahagia adalah orang yang jarang marah, jarang melakukan kekerasan ataupun
kekejaman".
Selain itu ia juga menyimpulkan bahwa "anak-anak belajar dengan sangat baik ketika mereka senang" (hal. 2). Dengan demikian, kebahagiaan dan pendidikan saling terkait dan kebahagiaan harus menjadi tujuan utama pendidikan. Noddings selanjutnya menyimpulkan bahwa diskusi mengenai keterkaitan antara kebahagiaan dan pendidikan ini harus membentuk upaya reformasi pendidikan di masa depan.
Selain itu ia juga menyimpulkan bahwa "anak-anak belajar dengan sangat baik ketika mereka senang" (hal. 2). Dengan demikian, kebahagiaan dan pendidikan saling terkait dan kebahagiaan harus menjadi tujuan utama pendidikan. Noddings selanjutnya menyimpulkan bahwa diskusi mengenai keterkaitan antara kebahagiaan dan pendidikan ini harus membentuk upaya reformasi pendidikan di masa depan.
B.
Pengertian
Kepuasan Hidup
Kepuasan hidup didefinisikan sebagai "proses kognitif di mana individu menilai
kualitas hidup mereka atas dasar kriteria unik mereka sendiri” (Pavot & Diener, 1993, hal. 164). Jadi kepuasan hidup seseorang berbeda-beda karena yang
menjadi patokan kebahagiannya pun berbeda. Seperti pada anak usia dini yang
mayoritas kepuasaan hidupnya akan dirasakan ketika orang-orang di sekitarnya
memberikan kesempatan serta perlindungan yang membuatnya nyaman untuk
mengembangkan semua potensi yang dimilikinya.
Sedangkan Huebner pada tahun 1991
menjelaskan kepuasan hidup adalah evaluasi
seseorang atas hidupnya secara keseluruhan yang dilihatnya
dari penilaian keluarga,
teman, dan sekolah terhadap dirinya. Ketika individu merasa
penilain orang terhadap dirinya baik maka akan merasa puas terhadap
kehidupannya yang dijalaninya. Pada anak usia dini kepuasaan hidup yang dimiliki
anak juga dapat tercipta ketika orang-orang disekitarnya memberikan penghargaan
atas hal-hal yang dilakukan anak.
Jadi
kepuasaan hidup merupakan hasil evaluasi yang positif seseorang terhadap
dirinya berdasarkan kriteria yang telah ditentukannya sendiri dengan
mempertimbangkan pendapat dari orang-orang yang ada di sekitarnya.
C.
Pengukuran Kepuasan Hidup pada Anak dan
Remaja
Berbeda
dengan penelitian di kalangan orang dewasa, penelitian tentang kepuasan hidup
dengan menggunakan sampel anak-anak dan remaja dimulai baru-baru imi. Namun demikian, volume penelitian
dibidang ini terus bertambah dan berkembang.
Gilman
dan Huebner (2000) memberikan tinjauan literatur awal
tentang langkah-langkah dari penelitian kepuasan hidup, terutama pendapat dari
orang-orang yang dianggap sebagai psikolog yang berkompeten untuk tujuan
penelitian di kalangan usia muda 8-18
tahun.
Adapun
jenis-jenis pengukuran atau skala yang digunakan untuk mengukur kepuasan hidup
diantaranya sebagai berikut:
1. Students’ Life Satisfaction Scale
(SLSS) / skala kepuasan hidup siswa (Huebner’s, 1991)
2. The Perceived Life Satisfaction Scale / skala kepuasan hidup yang dirasakan (Adelman,
Taylor & Nelson, 1989)
3. The Multidimensional Students’ Life Satisfaction Scale/ Skala Kepuasan hidup Mahasiswa Multidimensional (MSLSS;
Huebner, 1994)
4. The Comprehensive Quality of Life Scale-Student Version /Kualitas Hidup yang menyeluruh Versi Skala-siswa(ComQOL;
Cummins, 1997)
5. Quality of Student Life
Questionnaire/ kuesioner kualitas hidup siswa (Keith
& Schalock, 1995).
Setiap jenis pengukuran atau skala
kepuasan hidup yang digunakan akan menghasilkan berbagai informasi yang
berbeda-beda. Jika menggunakan skala yang ditujukan untuk untuk umum, akan
menghasilkan informasi penting tentang kepuasan hidup secara global (misalnya, pengukuran
tentang tingkat kepuasan hidup secara keseluruhan bagi seorang individu atau
kelompok). Jika pengukuran/skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan
siswa maka tentu informasi yang dihasilkan akan berkaitan dengan pendidikan dan
sekolah (Huebner et al., 2007). Sementa pengukuran dengan menggunakan skala multidimensi
akan menghasilkan informasi yang beragam
dan lebih lanjut dapat dibedakan terkait dengan domain tertentu.
Secara umum, penelitian tentang kepuasan
hidup ini harus memiliki nilai reliabilitas yang konsisten dan memadai (dengan nilai
Alpha berada dikisaran 0,70-0,80) dan pengukuran yang dilakukan tidak hanya
sekali tapi berulang-ulang serta menghabiskan waktu biasanya satu tahun. Beberapa penelitian tentang kepuasan
hidup terdahulu juga menunjukkan bukti kuat dari berbagai jenis validitas. Misalnya,
faktor studi analitik menunjukkan perbandingan dan perbedaan tentang kepuasan
hidup antara kelompok-kelompok pemuda dari berbagai negara yang berbeda (Cummins,
1997; Gilman et al, 2008 ;
Huebner,
Gilman, & Laughlin, 1999).
Selanjutnya, meskipun keadaan responden
berada dalam keadaan stabil, tapi laporan tentang kepuasan hidup tidak statis, kepuasan hidup individu dipengaruhi oleh
perubahan pengalaman hidup, dengan fluktuasi terpantau bergerak ke arah yang
diharapkan. Sebagai contoh,
sebuah studi longitudinal tentang kepuasan hidup global menemukan bahwa ketika respon mayarakat terhadap stress
menurun, maka kepuasan hidup
mereka meningkat (Gilman& Handwerk, 2001).
Adapun bukti dari kepuasan hidup dapat
meningkatkan kualitas hidup diantaranya sebagai berikut :
1. Consistent and positive
relationships with parent reports / Hubungan positif dan
konsisten dengan laporan orang tua (Gilman & Huebner, 1997; Huebner,
Brantley, Nagle, & Valois, 2002)
2. Theoretically related constructs
/ teori tentang konstruktivis (hope, self-concept, see Huebner, Gilman, & Suldo, 2007,
for a review)
3. Social desirability measures/
pengukuran tindakan sosial (Huebner, 1991).
D.
Hal-hal
yang Berkaitan dengan Kepuasan Hidup
Berdasarkan
penelitian tentang kepuasan hidup siswa ditemukan bahwa kepuasa hidup terkait dengan
karakteristik tertentu setiap individu dan interaksi mereka dengan lingkungan (Bronfenbrenner, 1992) dengan teori biopsikososial
tentang perkembangan telah digunakan sebagai salah satu kerangka kerja untuk
menjelaskan bagaimana karakteristik internal berinteraksi dengan berbagai
tingkat kontekstual untuk menghasilkan berbagai tingkat kepuasan (lihat
Huebner, Gilman, & Ma). Kerangka
kerja ini telah digunakan terutama untuk menjelaskan bagaimana kepuasan hidup mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh karakteristik individu siswa dan variabel kontekstual
lainnya.
Adapun
variabel atau hal-hal yang mempengaruhi kepuasan hidup adalah sebagai berikut :
1. Perbedaan
Individual
Perbedaan individual yang mempengaruhi kepuasan
hidup individu diantaranya :
a. Evaluasi
diri positif
b. Karakteristik
positif
c. Berkeyakinan
tinggi
d. Pengendalian
emosi
e. Kemampuan
interaksi sosial
f. Persepsi
diri
g. Standar
pribadi
h. Optimisme
i.
Keadaan hidup (normal atau cacat)
j.
Kesehatan
k. Tingkat
stress
l.
Kesejahteraan
m. Jenis kelamin
Kecenderungan
wanita memiliki kepuasaan hidup lebih tinggi di sekolah daripada laki-laki
karena wanita lebih bersifat menerima tanpa protes.
n.
Kelekatan
dengan orang tua
Anak
yang mempunyai kelekatan dengan orang tuanya lebih baik dan mempunyai hubungan
baik dengan teman sebaya maka akan mempunyai kepuasaan hidup yang tinggi.
Sedangkan untuk
kepuasan dengan keluarga akan menurun secara signifikan ketika kelas meningkat.
Hal ini terjadi karena ketika remaja komunikasi anak mulai kurang dengan orang
tua mereka dan kemudian mulai merasa seolah-olah orang tua mereka tidak
memahami mereka sehingga kepuasan secara keseluruhan dengan keluarga menurun.
Adapun penelitian yang menjelaskan tentang perbedaan
individual yang mempengaruhi tingkat kepuasan individu tersebut, diantaranya :
a. Salah
satu temuan yang paling kuat dari penelitian tentang kepuasan anak dan remaja
adalah bahwa anak-anak atau pemuda yang memegang evaluasi positif dari diri
mereka atau karakter diri positif (self-efficacy) memiliki tingkat kepuasan
hidup yang tinggi (Huebner, Gilman, & Laughlin, 1999; Nevin, Carr, Shelvin,
Dooley, & Breaden, 2005).
b. Remaja
yang memiliki keyakinan tinggi untuk
meregulasi emosional, baik dilingkungan sosial maupun dalam lingkungan
akademik mereka, dilaporkan mengalami peningkatan kadar kepuasan hidup (Suldo
& Shaffer, 2007).
c. Sebuah
studi longitudinal pada mahasiswa Cina, menemukan bahwa persepi diri pada
kompetensi mata pelajaran akademis inti berhubungan dengan kepuasan hidup saat
ini dan dapat juga memprediksi kepuasan hidup secada global 7- 9-bulan kemudian
(Leung, McBride-Chang, & Lai 2004 ).
d. Remaja
yang memiliki kontrol pribadi lebih atas peristiwa dalam kehidupan mereka
(memiliki internal locus of control) dilaporkan memiliki kepuasan hidup lebih
tinggi daripada siswa dengan locus of control eksternal (Gilman & Huebner,
2006;. Nevin et al, 2005; Rigby & Huebner 2005).
e. Remaja
yang memiliki kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang lebih positif dan
mereka yang memegang standar pribadi yang tinggi juga dilaporkan mengalami
peningkatan kepuasan hidup (Extremera, Duran, & Rey, 2007; Gilman &
Ashby, 2003; Gil- manusia, Ashby, Sverko, Florell, & Varjas 2005).
f. Kepuasan
hidup dapat dipengaruhi oleh keadaan hidup. Sebagai contoh, studi antara
anak-anak yang didiagnosis cacat telah mengungkapkan sejumlah temuan.
Penelitian yang dilakukan terhadap siswa didiagnosis dengan gangguan
pendengaran yang parah dilaporkan berkurangnya kepuasan kehidupannya,
dibandingkan dengan kepuasan hidup siswa non-klinis (normal) (Gilman,
Easterbrooks, & Frey, 2004),
g. Kepuasan
hidup telah terbukti tidak berbeda diantara siswa dengan gangguan kognitif,
seperti ringan sampai sedang cacat mental dan ketidakmampuan belajar (Brantley,
Huebner, & Nagle, 2002; MC- Cullough & Huebner, 2003; Shogren, Lopez,
Wehmeyer, kecil, & Pressgrove 2006 )
h. Penelitian
lain menemukan bahwa kepuasan hidup juga tergantung pada kesehatan. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan pada remaja-remaja yang memiliki kesehatan buruk,
teryata masalah kesehatan mereka menyebabkan mereka melakukan berbagai kegiatan
negative yang berhubungan dengan
kesehatan seperti merokok dan makan makan yang tidak sehat, atau yang kegiatan
sehari-hari dibatasi oleh masalah kesehatan kronis (Piko, 2006; Suldo &
Shaffer, 2008; Zullig, Valois, Huebner, & Yoon, 2005). Dari penelitian
tersebut dapat kita ambil poin bahwa masalah kesehatan dan stress yang
diakibatkan masalah kesehatan tersebut dapat menurunkan tingkat kepuasan hidup
individu.
i.
Dukungan untuk anggapan sebelumnya
berasal dari temuan terbaru bahwa siswa yang menggunakan strategi mengatasi
masalah adaptif (seperti positif menilai situasi-situasi stres, meminta
dukungan dari orang lain pada saat stres, dan berkomunikasi dengan keluarga
mereka) dilaporkan mengalami peningkatan kepuasan hidup. Sebaliknya, kepuasan
hidup akan menurun jika individu menggunakan strategi menghindar atau lari dari
masalah dengan cara seperti menyalahkan orang lain, mengeluh dan stres menanggapi masalah tersebut (Nevin
et al, 2005 ; Suldo,
Shaunessy, & Hardesty, 2008).
j.
Dalam konteks pendidikan, beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa prestasi akademik cukup berkorelasi dengan
kepuasan hidup dan kepuasan terhadap sekolah (Huebner & Gilman, 2006).
k. Selanjutnya,
penelitian terbaru dengan siswa sekolah menengah di Amerika menemukan bahwa
siswa dengan kesejahteraan tinggi memiliki nilai unggul dalam kursus dan skor
pada tes prestasi standar (Suldo & Shaffer, 2008).
l.
Berkenaan dengan perilaku di sekolah,
penelitian telah menunjukkan sewa concur- signifikan dan hubungan prediktif
antara tingkat yang lebih rendah dari kepuasan hidup dan masalah perilaku,
seperti memerankan perilaku (Huebner & Alderman, 1993; Valois, Paxton,
Zullig, & Huebner 2006 ).
2. Mikrosistem
Lingkungan
mikrosistem adalah lingkungan terdekat dari anak seperti keluarga inti,
keluarga besar, teman, lingkungan bermain dan sekolah yang memberi pengaruh
terhadap pola pikir
dan sistem keyakinan anak. Anak
belajar menilai dirinya berdasar interaksi antara dirinya dengan mikrosistem.
Meskipun mikrosistem sangat sempit, namun pengaruhnya sangat besar bagi sistem
di lingkungan lain. Di lingkungan mikrosistem, anak belajar tentang nilai-nilai
dan aturan yang diyakini oleh lingkungan tersebut sehingga membentuk sistem
kepribadiannya. Mikrosistem
merupakan dasar atau basic yang memberi kekuatan dan dukungan ketika anak berada
di lingkungan yang lebih luas (Purna
dan Kinasih 2014).
Berdasarkan
pengertian dari mikrosistem tersebut, maka dapat dijabarkan beberapa poin yang
mempengaruhi kepuasan individu di lingkungan, baik dilingkungan keluarga maupun
di lingkungan sekolah
dan teman sebaya, diantaranya :
Lingkungan keluarga/rumah
a. Dukungan sosial dari orang tua, guru,
teman sekelas, dan teman dekat.
b. Rumah
yang nyaman dan aman.
c. Suasana
penuh kasih ditandai dengan kedekatan keluarga, kebahagiaan, dan harmonis.
d. Komunikasi
yang terbuka dan saling percaya di dalam keluarga.
e. Monitoring
orangtua dan keterlibatan orang tua dalam kegiatan remaja.
f. Rasa
penting dalam keluarga.
g. Keluarga
mendukung hubungan anak dengan orang-orang dan kegiatan di luar keluarga.
h. Keutuhan
keluarga (orang tua yang saling mencintai dan tidak bercerai).
i.
Pola asuh orang tua.
Lingkungan
sekolah dan teman sebaya
a. Keyakinan
pribadi tentang belajar
b. Suasana
sekolah yang positif
c. Iklim
sekolah yang sensitif
d. Ketersediaan
kegiatan ekstrakurikuler
e. Rasa
kelekatan siswa dengan sekolah
f. Memiliki
hubungan baik dengan teman sebaya
g. Tidak
bergaul dengan anak yang memiliki perilaku buruk.
Selanjutnya, studi terhadap konteks lingkungan dan
hubungannya dengan kepuasan hidup telah dilakukan terutama yang berfokus pada
kualitas lingkungan rumah, sekolah, dan teman sebaya.Setiap konteks tampaknya
terkait dengan tingkat kepuasan hidup. Maka sudah ada beberapa penelitian
tentang keterkaitan kondisi lingkungan mikrosistem dengan kepuasan hidup
individu, diantaranya :
a. Studi
terbaru pada remaja yang memiliki kepuasan hidup sangat tinggi (yaitu, 10%-20%
dari distribusi skor) ditemukan bahwa, dibandingkan dengan rekan-rekan mereka
dengan kepuasan hidup yang sangat rendah dan rata-rata tingkat kepuasan, remaja
yang memiliki tingkat kepuasan hidup sangat tinggi memperoleh dukungan sosial
dari orang tua, guru, teman sekelas, dan teman dekat (Gilman & Huebner,
2006; Suldo & Huebner, 2006)
b. Studi-studi
lain telah meneliti kepuasan hidup dan hubungannya dengan faktor-faktor
tertentu dalam konteks lingkungan. Misalnya, penelitian kualitatif menemukan
bahwa faktor keluarga / rumah yang berkontribusi pada kepuasan remaja dengan
kehidupan meliputi:
(a) rumah yang nyaman dan aman, (b) suasana penuh kasih ditandai dengan
kedekatan keluarga, kebahagiaan, dan harmonis, (c) komunikasi yang terbuka dan saling
percaya, (d)
monitoring orangtua dan keterlibatan orang tua dalam kegiatan remaja, (e) rasa penting dalam keluarga, (f) keluarga mendukung hubungan anak
dengan orang-orang dan kegiatan di luar keluarga (Joronen & Astedt-Kurki,
2005).
c. Penelitian
menunjukkan bahwa anak
dari rumah tangga dengan dua orang tua mungkin lebih bahagia dengan kehidupan
mereka daripada remaja yang hidup dengan hanya satu atau tidak ada orang tua
(Winkelmann, 2006).
d. Praktik
pengasuhan otoriter, di mana orang tua dianggap sebagai pemilik otonomi psikologis,
merupakan prediktor terkuat dari kepuasan hidup siswa SMP dan SMA yang
terkadang membuat anak ingin terlepas dari komposisi keluarga (Edwards &
Lopez, 2006; Suldo & Huebner, 2004; Yoon 2004).
e. Penelitian
terbaru melaporkan bahwa tingkatan sekolah, keyakinan pribadi tentang belajar,
dan iklim sekolah yang positif menyumbang varians substansial terhadap kepuasan
hidup siswa SMA (Suldo, Shaffer, & Riley, 2008).
f. Aspek
lain dari lingkungan sekolah yang telah dikaitkan secara positif dengan
kepuasan hidup termasuk ketersediaan kegiatan ekstrakurikuler dan rasa
kelekatan siswa dengan sekolah mereka. (Gilman, 2001).
g. Secara
khusus, remaja yang memiliki kepuasan hidup yang tinggi memiliki hubungan yang
sangat baik dengan teman-teman mereka (memiliki loyalitas yang tinggi, saling
peduli, dan komitmen) (Nickerson & Nagle, 2004).
h. Selanjutnya,
hubungan dengan teman yang meningkatkan kepuasan hidup sering dicirikan saling
mendukung dan memiliki hubungan timbal balik. Studi ini juga menemukan bahwa
kepuasan hidup berbanding terbalik jika dikaitkan dengan remaja yang memiliki
hubungan buruk dengan temannya, seperti dibully dan dikucilkan atau terlibat
dalam berbagai perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak nakal.(Martin &
Huebner, 2007).
3. Makrosistem
Lingkungan makrosistem adalah lingkungan yang secara global dipengaruhi budaya dan konteks social tertentu. Makrosistem berisi nila-nilai yang dianut oleh budaya tertentu
yang diwariskan kepada lingkungan sosial. Seperti keluarga, sekolah, tempat kerja. Lingkungan ini berisi
pengaruh dari budaya yang mempengaruhi gaya hidup, tekanan ataau stress,
kesempatan berkembang. Contohnya: budaya Indonesia tentu berbeda dengan jepang,
singapura, dan Negara lainnya sehingga mempengaruhi gaya hidup masing-masing.
Faktor sosial ekonomi juga berpengaruh
terhadap perkembangan anak. Misalnya, anak yang orang tuanya memiliki kondisi
ekonomi penuh kekurangan akan memiliki lingkungan mikrosistem yang kurang
mendukung. Seperti tidak optimal memberikan nilai-nilai semangat untuk
berusaha, maju dan berkembang.Di lingkungan seperti ini anak tentu kurang
mendapat kesempatan untuk bersekolah.
Contoh yang lebih luas, Indonesia
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan terutama dengan orang yang lebih
tua yang ditandai dengan memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan kakak,
adik, paman/bibi, pakdhe/bukdhe. Berbeda ketika berinteraksi dengan orang yang berasal dari
budaya barat yang tidak mengharuskan memanggil dengan sebutan tertentu. Misalnya memanggil teman-teman terutama di media
sosial facebook atau twitter yang usianya sama dengan ibu, ayah, paman/bibi hanya dengan namanya saja. Secara
sederhana dapat dijabarkan bahwa faktor-faktor makrosistem yang mempengaruhi
kepuasan hidup adalah :
a. Negara
tempat tinggal
b. Budaya
c. Lingkungan
yang terdiri dari etnis yang sama
Makrosistem terdiri dari pengaruh budaya tertentu
atau konteks sosial yang lebih luas pada variabel Makrosistem. Faktor Makrosistem yang mempengaruhi
kepuasan hidup di masa muda diantaranya adalah faktor budaya dan tingkat
akulturasi antara imigran muda. Penelitian awal tentang peran budaya telah
mengidentifikasi persamaan dan perbedaan dalam tingkat rata-rata dan prediktor
kepuasan hidup secara global, tergantung pada Negara yang
dibandingkan. Misalnya, tingkat rata-rata kepuasan hidup yang sama di seluruh
tingkat pendapatan keluarga dan kelompok ras (terutama remaja keturunan Afrika-Amerika
dan Kaukasia) di Amerika, tetapi berbeda di kalangan pemuda yang mewakili
berbagai Negara lain.
sudah ada beberapa penelitian tentang keterkaitan kondisi
lingkungan makrosistem dengan kepuasan hidup individu, diantaranya :
a. Hasil
penelitian Gilman, Huebner et al. (2008) melaporkan bahwa remaja dari Irlandia
dan Amerika Serikat (negara yang dikenal sebagai negara individualistis), secara
signifikan lebih tinggi kepuasan diri remajanya dari
remaja dari China dan Korea Selatan (negara yang dikenal sebagai collectivistic).
b. Taman
dan Huebner (2005) melaporkan bahwa kepuasan dengan sekolah itu lebih kuat
berhubungan dengan kepuasan hidup global remaja Korea dibanding remaja Amerika.
c. Penelitian
tentang akulturasi imigran menunjukkan bahwa sementara pemuda yang baru-baru
ini berimigrasi ke luar negeri mungkin awalnya mengalami kepuasan hidup sedikit
berkurang jika dibandingkan dengan imigran yang sudah berada di Negara baru
untuk waktu yang lebih lama (Liebkind & Jasinskaja-Lahti, 2000).
d. Kepuasan
hidup global di antara sampel siswa SMA Meksiko-Amerika yang tinggal di Amerika
Serikat tersebut tidak berhubungan dengan identifikasi mereka dengan budaya
Anglo, tetapi dikaitkan secara positif dengan orientasi terhadap budaya Meksiko
(Edwards & Lopez, 2006; lihat juga Yoon, 2004).
e. Temuan
serupa telah dicatat di antara imigran remaja terbaru ke Portugal dan Norwegia,
yang melaporkan kepuasan hidup lebih tinggi saat tinggal di lingkungan di mana
kebanyakan orang berasal dari kelompok mereka yang sama etnis (Neto, 2001; Sam,
1998).
E.
Intervensi Dalam
Meningkatkan Kepuasaan Hidup
1. Intervensi untuk Meningkatkan Kepuasan Hidup
Ada
2 intervensi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepuasan individu
diantaranya intervensi langsung dan intervensi tidak langsung. Pendekatan tidak langsung awalnya
menargetkan stressor tertentu atau penentu (misalnya, dukungan orangtua miskin,
pesimis gaya atribusi), dengan tujuan meningkatkan kepuasan hidup sebagai
stressor penurunan keparahan. Sebaliknya, pendekatan langsung menargetkan
promosi kepuasan, dengan harapan dapat membantu remaja memodifikasi kegiatan
yang bertujuan untuk mencakup perilaku yang lebih adaptif, sikap, dan tujuan
(lih Lyubomirsky, Sheldon, & Schkade, 2005)
a. Intervensi
langsung
1) Sebagai
salah satu contoh dari intervensi langsung, dalam penelitian yang dilakukan
King (2001) ia menyuruh mahasiswa menulis deskripsi narasi tentang kemungkinan
baik yang mereka harapkan terjadi di masa depan (yaitu, "realisasi semua
impian dalam hidup Anda") selama empat hari berturut-turut. Hasil menunjukkan
bahwa peserta ini mengalami kepuasan hidup yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang hanya menulis tentang pengalaman
traumatis.
2) Penelitian
lain menggunakan metodologi yang serupa telah menemukan bahwa berpikir dan
menulis harapan baik tentang diri sendiri di masa depan mengakibatkanlangsung
peningkatandalam berpikir positif dankepuasan hidupindividu (Sheldon &
Lyubomirsky, 2006)
3) Penelitian
terhadap mahasiswa perguruan tinggi dan orang dewasa dengan penyakit
neuromuskuler diminta menuliskan lima hal yang mereka syukuri dalam hidup,
setelah beberapa waktu dinilai hidup
mereka lebih baik dan dilaporkan mempengaruhi lebih positif dibandingkan orang
dewasa dalam kondisistres, tidak ada intervensi; Emmons & McCullough,
2003).
b. Intervensi
tidak langsung
Untuk
pendekatan tidak langsung, faktor yang mungkin paling bisa untuk meningkatkan
kepuasan hidup dan relevan dengan lingkungan sekolah diantaranya meningkatkan
kualitas hubungan interpersonal (misalnya, keluarga, guru, dan dukungan sebaya),
mengubah dan meningkatkan persepsi diri (misalnya, self-efficacy dan meningkatkan kesempatan bagi siswa
untuk berpartisipasi di sekolah dengan
kegiatan ekstrakurikuler.
Perlu dicatat
bahwa kekuatan intervensi ini mungkin bergantung pada dosis, waktu dan konsistensi
intervensi yang dilakukan. Beberapa penelitian yang mendukung pernyataan ini
diantaranya :
a. Sheldon
dan Lyubomirsky (2006) menemukan bahwa manfaat positif hanya dipertahankan pada
partisipan yang terus melakukan latihan sendiri selama minggu-minggu berikutnya.
b. Selanjutnya,
intervensi dalam bentuk menghitung berkat/karunia yang didapatkan oleh seseorang secara teratur (selama 6 minggu)
efektif hanya pada orang dewasa yang melakukan aktivitas ini rutin sekali per
minggu hingga 3 kali perminggu (Lyubomirsky et al., 2005)
c. Di
sisi lain, sebuah studi Internet di mana orang dewasa secara acak ditugaskan
untuk menuliskan tiga hal baik yang terjadi setiap hari, pada setiap malam
selama 1 minggu, mengalami kenaikan kebahagiaan tetapi setelah 1 bulan intervensi
itu dilakukan, dan berlangsung selama setidaknya 5 bulan lagi. Temuan ini
menunjukkan bahwa manfaat dari strategi tersebut tidak dapat dirasakan
langsung, melainkan tertunda (efek jangka panjang) (Seligman, Steen, Park,
& Peterson, 2005).
Kemungkinan aplikasi
dari temuan ini dalam pengaturan sekolah berkaitan dengan tugas menulis di
kelas, kurikulum pendidikankarakter, dan bimbingan kejuruan. Misalnya, guru
seni bahasa dapat mempertimbangkan menggunakan diri terbaik dan kegiatan
syukur-terfokus (misalnya, kunjungan syukur, journal tentang aspek-aspek
positif dari kehidupan seseorang) sebagai petunjuk untuk tugas menulis. Selain
itu, program pendidikan karakter dapat mengambil manfaat dari termasuk
pelajaran tentang bagaimana secara khusus untuk mengembangkan kebaikan dan
kasih sayang kepada orang lain, serta untuk diri sendiri (Park & Peterson).Rujukan : artikel Life Satisfaction karya SHANNON M. SULDO, E. SCOTT HUEBNER, ALLISON A. FRIEDRICH, AND RICH GILMAN, dalam jurnal positive psychology
Komentar
Posting Komentar